Ketika
kau bertanya tentang anak durhaka,jangan menunjuk kearahku.Aku bukan durhaka,hanya
aku sedikit kesal saja pada ayah karena tak
suka caranya memperlakukan mimpiku.Perdebatanku dengan Ayah siang tadi masih
membekas dihatiku.
“Jurusan
seni musik?Haa?Sudah berapa kali Ayah bilang tidak?Apa yang kau harap dari
itu?”Tiba tiba laki laki yang ku sapa ayah dengan sepenuh keagungan
jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu itu mengaum,bak harimau yang marah pada sang
pemburu jalang.
“Takkan bisa
kau hidup dengan seni,lihatlah dirimu sekarang.Tak punya masa depan.Memetik
dawai hingga memantulkan bunyi dari balok kayu itu sama halnya dengan
pengamen.Tak usah kuliah”
Hatiku
bergemuruh,berkecamuk membawa ombak emosi ke otakku mendengar kata Ayah.Tapi
tidak,aku takkan melawan.Ku buka sedikit sekat sabar yang sudah sekian lama
terlatih dengan sikap keluarga padaku.
“Tapi musik
memberiku rasa nyaman yah,percayalah.Aku takkan kecewakan Ayah.Izinkan aku
mengambil Jurusan Seni Musik,tak bisa lagi rasanya aku melanjutkan kuliah di
jurusan Hukum ini yah.Aku tak bisa.Lihatlah aku hancur begini yah”
“Hancur?Hanya
orang bodoh yang mengatakan kau hancur,sudah dua semester IP mu berturut 3,78.Cukup
tinggi.Meski semester ini nilaimu drop.Kau masih bisa perbaiki di semester
selanjutnya.Masih ada kesempatan.Kau hanya
belum sadar saja.Lanjutkan kuliahmu,tak ada seni lagi, tak usah
membantah Jika kau masih ingin aku anggap anak”
Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ayah yang
amat memaksaku meniti mimpi menjadi lawyers.Hatiku terbakar.Namun, sepuncak
upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran untuk menjelaskan
”Cobalah mengerti aku yah.Seni itu indah,musik itu
membawa melodi ketenangan dan uang pasti akan mengikuti dibelakangnya yah.”
Banyak lagi yang kucoba jelaskan,tetapi Ayah tetap
pada pendiriannya.Bahkan,semakin banyak aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat
yang keluar dari mulut Ayah.
“Sama saja dengan pengamen”
“Masa depan apa macam itu”
“Dikuliahkan tinggi tinggi untuk sadar diri,ini malah
menyakitkan hati”
“Ayah takkan setuju”
Kalimat-kalimat ayah terus menelisik bersama angin
malam yang tajam.Menusuk sudut hatiku yang paling lemah.Aku terpojok.Sejurus
berlalu aku otak atik beberapa tombol di Hp ku dan mengirim pesan pada
Fauzan.Ya,Saat genting begini,Fauzanlah sahabat kampusku yang paling mengerti.
Sudahlah Yud,kau takkan bisa melawan.Lagian benar juga
kata ayahmu.Tak perlu kau kuliah kalau hanya ingin jadi pemusik yang tak ada
masa depannya.Toh skiil gitarmu masih rendahan
Bulsit,hatiku panas mempelototi balasan pesan dari
sahabat yang biasanya memberi nasehat serta ocehan menjadi akar sebelum aku
menuai dan menanam setiap pohon perjalanan hidup.Kini berbeda yang ku dapat
sama saja.Cercaan,celaan masih juga datang bersipongang.Akh,aku benci semua
ini.Ku lemparkan almamater kampus yang sudah
4 semester ini menjadi pembungkus tubuhku dari simbol pelarian bersama
pedati tajam yang sengaja di asah ayah hingga terkadang melukaiku.Tapi
tunggu,hanya 2 semester pertama yang aku jalani dengan hati suka,2 semester
lainnya lagi hatiku mulai berontak dengan maunya.Aku masuk kampus sesuka hatiku
saja malahan aku sibuk dengan jadwal manggung Band yang ku bentuk tanpa
sepengetahuan keluarga.Ini hidupku,musikku.Bukan hukum.Dan aku menikmatinya.Tidak
ada gunanya aku mengerti mereka,sedangkan mereka tak mengerti mauku.Lalu ku
biarkan saja baju kebanggaan kampus itu tergeletak begitu saja karena aku lebih
memilih duduk di tepi ranjang lalu menyulut sebatang rokok tapi sayang asap
yang ku hembuskan pelan pelan malah membawa bayang wajah Kak Andin,Ayah,Ibu dan
di tambah Fauzan seperti semakin menyudutkanku,memotong mimpiku.
Yudi,bisakah
kau menemaniku saat ini.Ku tunggu di tempat biasa?Tiba
tiba sebuah pesan masuk ke Hpku.Ku baca
pengirimnya.Itu dari Maudy,juniorku.Entah apa yang terjadi padanya.Rokok yang
hampir menjadi puntung ku campakkan entah kemana.Bergegas ku susuri jalanan
dalam detak yang lamban dengan si matic putih ini.Pukul dua belas tengah
malam.Angin menusuk gigil.Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan
beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan
diri ke dalam malam.Berpacu di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke
ruang-ruang lengang melenakan bak Valentino Rossi.
Tak lebih dari 35 menit aku berkutat dengan
lenggangnya jalan dan curamnya tanjakan Sitinjau Lawik hingga saat memasuki
jalanan Gunung Pangilun,lampu motorku menyorot sosok wajah gadis cantik yang
sangat ku kenal.Dia sepertinya sengaja menungguku.Ini sudah malam,tapi kenapa
wajah cantiknya masih saja bersiliweran disini.Banyak pertanyaan yang mengisi
rongga otakku tentangnya.
“Kau kenapa Maudy?”Ucapku langsung mematikan motor dan
menghampirinya,berusaha mencari bola matanya yang sedari tadi di sembunyikan.
“Kenapa?Kau kenapa?”Kataku lebih keras saat kutemukan bola mata itu
mengeluarkan sungai sungai kecil yang
tak tahu darimana sumbernya.
“Darimanakah kau?Sudah sedari tadi aku
menunggumu?”Ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Kembali bayangan keluarga dan pertentanganku dengan
Ayah tadi menyelinap sesaat tapi ku tepis
cepat,jarak 60 KM yang ku tempuh tadi lebih berharga untuk menyelidik bidadariku
disini nan tengah tak bersuka hati tanpa perlu mengingat mereka.
“Aku dari Solok,kan kau tahu aku kurang nyaman di kost
saat minggu begin.Tapi karena kau SMS tengah malam begini,aku bergegas menemui,aku
khawatir padamu.”
“Maafkan aku Yud”
“Tidak mengapa,lebih baik kau ceritakan padaku”
“Angga,memutuskanku Yud.Katanya aku tak lagi bisa
mengerti dia.Padahal aku sudah berusaha Yud.Lalu dia meninggalkanku di tepi
jalan ini” Jawabnya sesegukkan.
“Berarti dia tidak baik untukmu Maudy,sudahlah.Tak
perlu menangis begini.Ini sudah malam,ayo aku antar kau pulang ke kostmu.”
Dia hanya menunduk dan tersedu.Ingin aku memeluk
dia,tapi tak mungkin karena aku tak akan menjamahnya walau dengan alasan untuk
menenangkan.Agamaku melarang itu.Aku memang seseorang yang tak terlalu fanatik
dengan ilmu agama tapi setidaknya Ibu selalu mengingatkanku di setiap ucapannya
dulu.Jadi aku hanya mengusap kepala gadis cantik itu.
“Terimakasih kau sudah ada untukku Yud”Ucapnya tepat
ditelingaku saat motorku baru saja melaju.Tangannya memegang erat
pinggangku.Aku kaget,tak ingin juga aku larang dia.Dan lagi,perasaanku semakin
tak menentu saat kepalanya di tumpangkan pada bahuku.Tak bisa berkata apa
apa.Aku hanya diam dengan pipi yang saat ini aku takut dia tahu.Pipiku
merona.Kenapa tidak?Ini pertama kali aku sedekat ini.Biasanya aku hanya mencuri
pandang Maudy dari kejauhan,dari balik buku perpustakaan,dari balik punggung
punggung mahasiswa yang tengah makan di kantin kampusku.Sudah lama aku
mencintainya,menyukainya lebih dari cinta yang biasa ku kenal.Tapi aku tak
bernyali mendekatinya.Dia lebih dahulu milik Angga.Teman sekelas dikampusku.Kini
Maudy sangat dekat,hanya berjarak beberapa cm saja dari tatapanku.Aku tak percaya,ku
curi pandang pada spion yang memantulkan kepala si cantik itu bersender di
bahuku.Dan angin malam hanya menyulap kami dalam kebisuan bersama senyum yang
tersungging di bibirku.
“Aku mencintai Angga karena dia mahir bermain gitar
Yud”Katanya saat ku pencet rem ditangan sampai di depan kostnya.
Aku berlalu dan otakku bernyanyi dalam oktafnya
tertinggi.Entah lagu sendu yang seperti apapun tetap tak bisa melucuti sengau
ragaku.Hanya karena gitar?Musik?Aku sudah memilikinya Maudy tapi kau tak
tahu.Ujarku dalam hati.Pahit rasanya menutupi jati diriku,aku tak ingin
bertingkah sombong dan akan ku biarkan Maudy tahu dengan sendirinya.Tapi jauh
lebih sakit saat cinta ini terbungkus oleh kata Sahabat.
Siluet rembulan tak terlihat lagi.Sudah sangat
malam.Tak mungkin aku berbalik ke Solok.Perlahan ku iring motorku menuju kost
yang selama ini menjadi tempat ternyaman saat kuliah menjadi
tanggunganku.Eit,tapi itu dulu.Kini kost itu terlalu ramai.Aku sudah jenuh
dengannya.Bising karena penghuninya sudah bak vampir yang tak mengenal kata
tidur lagi.Berlalu lalang berkeliaran bak babi ngepet yang sedang mencari
mangsa,bahkan tak segan memekik di tengah malam persis seperti kuntilanak.Namun
kesunyian tiba tiba ku dapat,tak ada suara bising yang biasanya menyambut
kedatanganku.Pelan pelan ku langkahkan kaki menuju bilik kost ku.Hanya ada Gio
yang tiduran sibuk dengan headsetnya.
“Kau tak perlu marah lagi,kini kos sudah sepi.Seperti
ini kan maumu?”
Glek.Kata katanya meningkatkan adrenalin serigalaku
yang mampu menyerang saat hatinya tak senang.Tapi gitar hentikan kemarahan itu.Mulai
kugerakkan jari memetik satu persatu dawai balok kayu yang di buat sebaik
mungkin itu hingga menimbulkan suara nada pilu dari rintihan jiwaku.
“Teman teman menjenguk Ayah Andi dirumah sakit.Ayahnya
tiba tiba stroke setelah bersitegang dengan Andi tadi siang.”
Jemari ku terhenti,nadaku terpotong.Laguku bahkan
kehilangan lirik.Wajah Ayah kembali datang menyeruak di sekitar simphoni ku malam
ini.Pertegangan dengan ayah,kemarahanku padanya.Lalu bagaimana keadaan Ayah?Aku
bahkan tak pamit.Bukankah ayah punya penyakit jantung yang mungkin saja akan
datang bersarang saat emosinya kusulut?Banyak pertanyaan gila beradu jotos di
benakku yang jawabannya tak mungkin bisa kuterima.
“Aku pulang dulu”
“Hey gila kau,baru saja datang sudah pergi lagi.Ini
sudah jam 2 malam dan kau mau pulang ke Solok.Bahaya” Gio bersorak saat pintu gerbang menderit.Namun percuma tak
ada yang bisa menahanku.Ibu adalah jawaban penguat langkahku,wajah ibu adalah
pengusir rasa takutku melewati jalanan dan rimba angker ini.Jarak yang sama
dalam detak jam yang tak berselang lama sudah ku tempuh dalam dua kali tapi
dengan tujuan yang berbeda.Bayansg wajah ibu kemudian wajah ayah berlarian di
belaian daun di pepohonan sepanjang jalan.Wajah mereka yang telah menggariskan
keriput,rambutnya yang sudah memutih,punggung yang sudah bungkuk hingga tak
kuat mengangkat beban berat lagi,ayah ibu.Telaga bening dimataku yang sudah
lama kering itu kini menjadi penuh terisi,mata air telah terbit
disana,melumpuhkan prasangkaku yang selama ini pria takkan menangis.Tangisku semakin
pecah meski tak bersuara saat tak kutemukan ibu dan ayah tak ada di tempat
tidurnya.Ku cari di dapur tapi juga tak ada.Kemana?Kemana ibu dan ayah?Apa
jantung ayah bertingkah lagi,lalu ibu menemani.Ini salahku.Karenaku.Tapi aku
mendengar suara tangisan lain.Suara itu berat,tapi itu bukan suaraku.
“Maafkan kami ya allah yang tak bisa menjaga amanatmu
dengan baik.Selama ini kami hanya mengandalkan keinginan kami padanya,kami tak
bermaksud memaksa.Hanya kami tak ingin ia di campakkan di masyarakat karena
pendidikannya.Kami mau ia di hargai,menjadi panutan dan tompangan bukan seperti
kami ini yang tak tahu apa apa ya allah.Kami tak ingin masa depannya menjadi
abu yang akan lenyap seiring waktu dan angin berhembus kencang.Hanya saja
mungkin cara kami yang salah ya allah.Kini ia tak tahu kemana,tiba tiba pergi
tanpa berita.Selamatkan,sehatkan dan tuntunlah dia,anak kami..Amiin ya rabb”
“Amiin”
Suara itu sesegukan.Itu ayah dan ibumu tengah menengadahkan kepala kepada Sang Pencipta dengan mata yang
sudah nanar karena ada beberapa lemak nakal bersarang disana
hasil dari selama ini tak pernah melemparkan pandangannya pada mall nan megah
yang dilihat hanya jalan untuk mencari rezeki biaya kuliahku.Tangan mereka yang
menampungkan sembah sudah banyak kerutan hasil selama ini selalu sibuk mengais
pundi rupiah.Dan malam ini mereka masih juga terjaga untuk berdoa,khawatir karena
kepergianku yang tiba tiba.Tapi selama ini aku buta,aku tuli.Tak pernah melihat
derita ibu dan ayah,tak pernah mendengar rintihan kelelahan,sakit dan doa mereka
yang tersembunyi di balik ketegaran untuk menguatkanku menuju masa depan.
“Aku pulang,maafkan aku bu,yah.”Hanya
itu yang keluar dari mulutku.Kusalami mereka lalu beranjak menuju kamarku.Tak
ingin aku lihatkan air mata didepan mereka,masih saja terasa enggan jika mereka
tahu aku menangis.Ada penyesalan yang selama ini terbingkai oleh
emosiku.Almamater yang tadi kubiarkan sebagai lap kaki,kini ku dekap erat.Gitar
yang tadi menggantung di kamar juga ku dekap erat.Dua pilihan hidup yang berat
menuntunku.Aku takkan memilih.Sudah tersia siakan waktuku karena timpang
sebelah selama ini.Sudah aku lepaskan harapan ayah dan ibu,mengganti itu dengan
tangis mereka.Aku seperti seorang malin kundang yang penuh dosa.Kata maaf kuruntutkan
pada persimpuhanku pada Sang Kuasa.
Kini takkan ku biarkan tangisan
sendu itu berlagu di mata ibu dan ayah,tapi tak juga bermuara di hatiku.Karena
aku akan membungkus indah lagu itu dengan nada yang baru.Nada yang lebih indah
dari dulu.Nada yang di lagukan dari gitar kayu yang telah jadi sahabatku menyusuri jalan
masa depanku bukan seperti dulu,gitar menjadi kewajibanku.Ayah ibu,dengarlah
dan raasakanlah bersama melodi yang kau dengar dari balik jendela kamar rumah
tua kita akan ku lukis senyum bangga dan cinta untuk dirimu yang telah buatku
menjadi berharga.Lalu lihatlah,sinar temaram dari rembulan subuh yang pucat
keputihan.Kini itu adalah aku.Aku kini akan berubah dan bertahan,dari
kebisingin dan keramaian di rantau orang yang menjadi alasan aku tak bisa
belajar,lalu aku juga akan bertahan dari cinta yang terkadang menggangguku untuk
membawakan kau senyum terhangat dengan ijazah kelulusan yang ibarat kau itu
adalah bongkahan emas keberhasilan kau,ayah dan ibu.Aku akan bertahan dengan
keindahan dari bayang dan sosok hangat dari mu,percayalah aku takkan seperti
dulu.Kan ku jemput toga ku secepat yang ku mampu untuk mempendarkan banggaa di
hatimu ayah dan ibu.Dan dengarlah desahan hujan kali ini yang mengusik nakal
atap seng rumah kita,dia akan melagukan nyanyiannya bersama jemariku yang
bermain diatas dawai gitarku,ku harap sinar nanar matamu terganti dengan suka selayak
diriku menyukai lagunya.
Engkau
lah nafasku,
Yang
menjaga didalam hidupku,
Kau
ajarkan aku menjadi yang terbaik,
Kau
tak pernah lelah,
Sebagai
penompang dalam hidupku,
Kau
berikan aku semua yang terindah.
Aku
hanya memanggilmu ayah,
Disaat
ku kehilangan arah,
Aku
hanya mengingatmu ayah,
Jika
aku t’lah jauh darimu
Ayah (Seventeen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar